Senin, 24 November 2008

Haruskah Hukuman Mati Dengan Pedang ?

analisa
oleh : Izzudin Karimi
Ada terpidana hukumam mati –terlepas dia dihukum bil haq atau bil bathil- yang katanya -penulis mengatakan, ‘katanya’ karena informasi yang penulis dapatkan simpang siur, wallahu a'lam, penulis tidak memastikan kebenarannya- menolak dieksekusi di depan regu tembak, dia meminta dipancung dengan pedang, alasan terpidana bahwa cara pertama bukan cara Islam, dia ingin dihukum dengan cara Islam, maka –sekali lagi penulis berkata, ‘katanya’- dia meminta dihukum pancung karena inilah –menurut yang bersangkutan- adalah cara Islam.

Terlepas dari benar tidaknya informasi ini, pertanyaan yang muncul dari persoalan ini, apakah hukuman mati atau di kalangan sebagian kaum muslimin dikenal dengan qishash, sebenarnya hukuman mati dan qishash tidak sama persis, ada titik perbedaan di antara keduanya, dari satu sisi hukuman mati hanya sebagian dari qishash, karena qishash tidak hanya berlaku untuk nyawa, akan tetapi ada qishash yang berkait dengan luka, ada qishash yang berkait dengan anggota tubuh dan ada qishash yang berkait dengan manfaat anggota tubuh, dari sisi ini maka qishash lebih umum daripada hukuman mati. Dari sisi yang lain, tidak semua hukuman mati itu karena qishash, ada hukuman mati di mana sebabnya bukan karena membunuh, jadi qishash bukan berarti hukuman mati dan hukuman mati bukan berarti qishash. Keterangan seperti ini terambil dari sabda Nabi saw dalam hadits Muttafaq alaihi dari Ibnu Mas'ud, “Tidak halal darah seorang muslim yang bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang haq selain Allah dan bahwa aku adalah utusan Allah kecuali karena satu dari tiga perkara; pezina muhshan, jiwa dengan jiwa dan peninggal agamanya penyempal dari jamaah (kaum muslimin).”

Kembali kepada pertanyaan di atas, apakah hukuman mati dalam Islam harus dilaksanakan dengan pedang? Atau dengan kata lain, apakah hukuman mati dalam Islam berarti pancung dengan pedang? Adakah cara lain selainnya?

Pertanyaan ini telah dibicarakan oleh para fuqaha` pada pembahasan tentang tata cara qishash, bagaimana qishash dilaksanakan terhadap pembunuh? Apakah dengan cara yang dia gunakan untuk membunuh korban? Misalnya dia membunuh dengan memukul kepala korban dengan batu maka dia diqishash dengan cara yang sama. Atukah dia hanya dibunuh dengan dipenggal dengan pedang?

Pendapat pertama adalah pendapat mayoritas fuqaha`, di antara mereka adalah Imam Malik, asy-Syafi'i dan Ahmad dalam salah satu riwayat darinya. Pendapat kedua adalah pendapat Imam Abu Hanifah dan riwayat yang masyhur dalam madzhab Ahmad.

Pendapat pertama berpegang kepada:

Firman Allah, “Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh.” (Al-Baqarah: 178). Qishash adalah perlakuan terhadap pelaku kejahatan seperti perlakuannya terhadap korban.

Firman Allah, “Barangsiapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu.” (Al-Baqarah: 194).

Firman Allah, “Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu.” (An-Nahl: 126).

Ayat-ayat ini menetapkan pelaksanaan balasan atau hukuman atas tindak kejahatan sesuai dengan bentuk tindak kejahatannya.

Pendapat ini juga berpegang kepada sunnah Rasulullah saw, di antaranya:

Dari Anas bin Malik bahwa seorang gadis ditemukan dalam keadaan kepalanya dihantam dengan dua batu, maka orang-orang menanyainya, ‘siapa yang melakukan ini terhadapmu? Apakah fulan, fulan?’ sehingga orang-orang menyebut nama seorang Yahudi maka gadis itu mengangguk, maka Yahudi ini ditangkap dan dia mengakui perbuatannya, maka Rasulullah saw memerintahkan agar kepala Yahudi dihantam dengan dua batu. (Muttafaq alaihi).

Dari al-Barra` dari Nabi saw bersabda, “Barangsiapa menjadikan orang lain sebagai sasaran anak panahnya maka kami akan menjadikannya sebagai sasaran anak panah kami, barangsiapa membakar maka kami membakarnya dan barangsiapa menenggelamkan maka kami meneggelamkannya.” (HR al-Baihaqi).

Sementara itu pendapat kedua berpijak kepada:

Dari Syaddad bin Aus bahwa Nabi saw bersabda, “Sesungguhnya Allah mewajibkan berbuat baik dalam segala sesuatu, jika kalian membunuh maka lakukanlah dengan baik, jika kalian menyembelih maka lakukanlah dengan baik…” (HR Muslim).

Hadits ini memerintahkan membunuh dengan baik dan cara yang baik adalah dengan pancung leher dengan pedang karena ia mempercepat proses kematian.

Dari Abu Bakrah dari Nabi saw bersabda, “Tidak ada qishash kecuali dengan pedang.” (HR. Al-Bazzar dan Ibnu Adi, Ibnu Adi berkata, “Seluruh jalan periwayatanya dhaif.”).

Tela’ah terhadap kedua pendapat

Pendapat pertama lebih kuat dari sisi dalil-dalilnya, di samping ia lebih memberi efek jera yang mendalam kepada para pelaku kejahatan dan calon pelaku kejahatan. Pendapat ini juga sejalan dengan prinsip keadilan. Namun sisi kelemahan pendapat ini nampak dari sudut penerapannya, karena penerapannya memerlukan patokan baku yang menjamin terwujudnya keadilan dan dari sudut ini hal tersebut rada sulit terlaksana. Misalnya, A membunuh B dengan cara menghantam kepalanya dengan martil sebanyak tiga kali, maka menurut pendapat pertama ini, A diqishash dengan cara dihantam dengan martil juga sebanyak tiga kali. Pertanyaan yang mungkin timbul, bagaimana jika dengan tiga kali hantaman martil A tidak mati? Jika ditambah kali keempat berarti tidak adil, jika cukup hanya dengan tiga berarti qishash tidak terlaksana.

Sementara pendapat kedua kalah kuat dari sisi dalil, di samping ia kurang memberi efek jera kepada pelaku kejahatan, namun pendapat ini mudah dari sisi pelaksanaan.

Dari sini maka penulis berpendapat bahwa pada dasarnya hukuman mati dilaksanakan sebagaimana yang dilakukan oleh pelaku terhadap korban seperti pendapat pertama, kecuali jika hal ini tidak memungkinkan, karena ia mengandung kezhaliman, atau perbuatan yang dilakukan oleh pelaku tidak mungkin dilakukan kepadanya sebagai qishash, misalnya jika dia memperkosa wanita lalu wanita itu mati karenanya, apakah pelaku diperkosa? Tidak mungkin, maka dalam kondisi ini kita menerapkan pendapat yang kedua. Di samping itu tidak semua hukuman mati karena tindak pembunuhan sebagaimana penulis telah menyinggungnya di depan.

Dalam kondisi di mana menerapkan pendapat pertama tidak mungkin, lalu pendapat kedua hendak diambil, apakah cara atau alat membunuhnya hanya sebatas pedang, dengan kata lain, cara selain dengan pedang bukan cara Islami? Penulis berpendapat, masalah ini perlu dikaji dengan tidak terburu-buru menetapkan bahwa penggal dengan pedang merupakan satu-satunya cara Islami dan selainnya bukan, menisbatkan sesuatu kepada Islam bukan perkara remeh, karena belum tentu Islam seperti itu, jika Islam bukan seperti yang dia katakan maka dia telah berdusta atas nama Islam.

Ada dua perkara yang layak diperhatikan dalam hal pancung dengan pedang yang kata sebagaian orang adalah cara Islami dan selainnya bukan. Pertama, Haditsnya dhaif, sebagaimana yang telah disinggung didepan. Kedua, pedang hanyalah alat di mana ia menerima perkembangan sejalan dengan kemajuan manusia. Nabi saw berperang dengan pedang, tombak, panah dan alat-alat lain yang tersedia pada zamannya. Apakah penggunaan alat-alat ini dalam perang termasuk perkara ta’abbudi yang tidak boleh dirubah? Ataukah karena memang ala-alat inilah yang tersedia pada masa itu? Yang kedua ini lebih zhahir dan lebih jelas. Penulis tidak berspekulasi jika mengatakan, sendainya bedil, pistol, senapan laras panjang dan lain-lainnya telah dibuat dan tersedia pada masa itu, niscaya Nabi saw tidak menolak menggunakannya.

Kembali kepada pedang dalam hukuman mati, ia digunakan pada masa itu lebih karena ia adalah cara yang memungkin dan termudah pelaksanaannya, berarti hal ini tidak menutup kemungkinan selain pedang bisa mengambil peran pedang dalam perkara ini. Wallahu a'lam.

ISLAM Berkembang Sangat Pesat Di PAPUA NEU GUINEA!!

Sejumlah sumber media mengungkap adanya peningkatan yang mencengangkan dalam jumlah penduduk yang berpindah dari agama kristen ke agama Islam di negara Papua Neu Guinea.

Menanggapi sebab animo yang demikian besar tersebut, salah seorang imam setempat, yang saat ini mengikuti pelatihan di Malaysia bernama Syaikh Khalid mengatakan, “Sejumlah besar penduduk Papua Neu Guinea memeluk Islam, bukan karena tidak suka terhadap agama lain melainkan karena kepuasan hati yang mereka dapatkan dalam Islam.”

Seperti yang dilansir jaringan ABC, sebuah stasiun TV Amerika, Syaikh Khalid menambahkan, “Penerapan syiar-syiar Islam jauh lebih mudah ketimbang syiar-syiar agama dan kepercayaan lainnya. Demikian pula, anda di dalam Islam adalah pensehat bagi diri anda sendiri. Anda tidak hanya menyembah Rabbmu di masjid saja, tetapi Dia selalu bersama anda di mana pun anda berada. Oleh karena itu, bila anda tidak bisa pergi ke masjid, maka anda dapat melaksanakan shalat di bawah pohon, di rumah atau di tempat mana saja (selain yang dilarang dan najis-red). Ditambah lagi, perasaan kaum Muslimin yang demikian bersemangat dalam mempererat hati.”

Surat kabar itu juga menyebutkan, sejumlah penduduk Papua Neu Guinea mulai beralih ke agama Islam sejak era 80-an, di abad ke-19. Surat kabar itu menyiratkan adanya beberapa perkampungan yang seluruh penduduknya memeluk Islam. Syaikh Khalid memprediksi, dalam jangka 20 hingga 30 tahun dari sekarang, seluruh penduduk Papua Neu Guinea akan memeluk Islam.

Sekalipun terjadi fenomena lari dari gereja menuju ke pangkuan Islam ini di negara yang dikatakan pendeta Joseph Walterz sebagai ‘negara yang memiliki akar kristen yang kuat,’ namun para pemimpin gereja tetap mengatakan, mereka merasa tidak terancam dengan pertumbuhan Islam yang demikian pesat di negara tersebut.

Surat kabar itu juga menyiratkan adanya sebagian rintangan yang harus dilewati Islam seperti sikap rasis dan islamphobia yang berkembang beberapa hari terakhir. Selain itu, juga ada sebagian aksi kekerasan yang dilakukan terhadap umat Islam dan tempat-tempat ibadah seperti kasus bom yang meledak di salah satu masjid di ibukota, Port Morresby. Hingga saat ini, lobang-lobang bekas tembakan masih tersisa di salah satu jendela masjid.

Sekalipun umat Islam yang sebenarnya justeru menjadi sasaran serangan, Perdana Menteri negara itu malah berkampanye dengan memperingatkan apa yang disebutnya ‘bahaya latin Islam.’ Ia mengatakan, Islam merupakan ancaman serius terhadap keamanan dan persatuan negeri itu. Hal ini membuat Syaikh Khalid melihatnya sebagai buah dari ketidakpahaman terhadap Islam dan tercorengnya wajah Islam yang sebenarnya.

Sekalipun begitu, ia tetap mengatakan, “Kondisi ini akan berubah setelah semakin bertambahnya jumlah penduduk yang memeluk Islam setiap harinya. Allahu Akbar!! (ismo/almkhtsr/AH)

Sabtu, 15 November 2008



Ada kabar gembira buat anda para pebisnis, baik itu bisnis online ataupun offline. Mulai saat ini ada program baru di blog nya kang rohman yaitu " Iklan Dalam Bentuk Posting ", benar-benar dalam bentuk posting. Pada umumnya sebuah iklan adalah berupa banner link atau berupa text link, maka di blog kang rohman anda boleh beriklan dalam bentuk





Selengkapnya.....




ebelum mengedit template Anda, Anda mungkin ingin menyimpan sebuah salinan dari template terseb

Kamis, 13 November 2008

IMAN

IV. IMAN

*

1. Iman adalah ucapan dan perbuatan, bisa bertamah dan bisa berkurang. Yakni: Ucapan hati dan ucapan lisan, serta; Perbuatan hati, perbuatan lisan dan perbuatan anggota badan.

Ucapan hati ialah: meyakini serta membenarkan. Sedang ucapan lisan ialah: mengatakannya.

Perbuatan hati ialah: menyerah, ikhlash, tunduk, cinta dan keinginan untuk beramal shalih.

Sedang perbuatan anggota badan maksudnya: melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan.
*

2. Siapa yang menganggap amal perbuatan di luar (kerangka) iman, maka dia adalah seorang MURJI’AH, sedangkan siapa yang memasukan suatu amal perbuatan yang bukan termasuk (kerangka) iman, maka dia adalah seorang Mubtadi’ (pembuat bid’ah).
*

3. Siapa yang tidak menyatakan kalimat SYAHADATAIN maka dia tidaklah bisa disebut atau dihukumi sebagai mukmin; tidak di dunia dan tidak pula di akhirat.
*

4. Islam dan Iman adalah istilah syari’ah yang dua-duanya jika dilihat dari suatu sisi bersiafat umum dan khusus. Setiap ahlul qiblah disebut muslimin.
*

5. Seseorang yang berbuat dosa besar, tidak kelaur dari keimannya. Dia di dunia adalah mukmin yang berkurang imannya, dan di akhirat terserah kepada kehendak Allah. Jika Allah tidak mengehendaki dia diampuni, dan jika Allah mengendaki, dia diazab.

Kaum Muwahhidun (orang-orang yang bertauhid) semuanya, tempat kembalinya adalah surga walaupun diantara mereka yang berhak diazab (disiksa), bakal adzab di neraka, akan tetapi tidak ada seorangpun yang kekal di dalam neraka itu.
*

6. Tidak boleh memberikan kepastian kepada seseorang tertentu dari ahlul qiblah (orang yang menghadap qiblat/ muslim) bahwa dia masuk surga atau neraka kecuali jika orang itu telah ditetapkan berdasarkan nash.
*

7. KUFUR dalam istilah syari’ah ada dua bagian: AKBAR yaitu yang mengeluarkan dari agama, dan ASGHAR yaitu yang tidak mnengeluarkan dari agama, dan kadang-kadang disebut sebagai KUFUR ‘AMALI.
*

8. TAKFIR (menetapkan hukum kafir) merupakan hukum syar’i yang tempat kembalinya adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Oleh karena itu tidak boleh mengkafirkan seorang muslim disebabkan oleh suatu ucapan atau suatu pekerjaan selagi tidak ada dalil syar’i yang menunjukan kekakfiran orang tersebut.

Dan tidaklah isitilah hukum kufur atas suatu ucapan atau perbuatan berati mengharuskan ketetapan hukum kufur pada diri seseorang tertentu kecuali jika telah terpenuhi syarat-syarat atau hal-hal yang menghalanginya tidak ada. TAKFIR adalah termasuk persoalan hukum yang paling RISKAN, oleh karena itu wajib didasarkan pada kepastian dan berhati-hati untuk meng-KAFIR-kan seorang Muslim.

TAUHID AL-IRADI AT-THALABI-(1) (Tauhid Uluhiyah )

III. TAUHID AL-IRADI AT-THALABI-(1) (Tauhid Uluhiyah )

*

1. Allah Ta’ala adalah satu-satunya Yang Esa, tiada sekutu bagi-Nya baik dalam Rubuhiyah, Uluhiyah maupun Asma’ dan sifat-Nya. Dialah Rabbul-‘Alamin (pengatur semesta), Dia pulalah satu-satunya yang berhak Mendapat berbagai bentuk peribadatan.
*

2. Mengalihkan sedikit saja bentuk–bentuk peribadatan seperti: berdoa, ber-ISTIGHATSAH-(2), ber-isti’anah (meminta pertolongan), ber-nadzar, menyembelih binatang, bertawakal (pasrah diri), takut, berpengharapan, cinta dan lain-lain kepada selain Allah Ta’ala adalah SYIRIK, apapun maksud dan tujuannya; baik kepada MALAIKAT yang didekatkan Allah, kepada nabi yang diutus, kepada HAMBA SHALIH maupun (apalagi) kepada selain mereka.
*

3. Di antara prinsip ibadah ialah bahwa Allah Ta’ala (harus) disembah berdasarkan HUBB (cinta), KHAUF (takut), dan RAJA’ (pengahrapan) secara bersamaan.

Beribadah kepada Allah hanya berdasarkan sebagai prinsip (di atas) tanpa sebagian yang lain adalah SESAT.

Beberapa ulama mengatakan:

“Barangsiapa beribadah kepada Allah hanya dengan rasa cinta semata, ia adalah seorang ZINDIQ, barangsiapa beribadah degan rasa takut saja, ia berarti seorang HARURI (KHAWARIJ)-(3) dan barangsiapa yang beribadah hanya berdasarkan RAJA’ (pengharapan) semata, berarti ia seorang MURJI’.-(4)
*

4. Menyerah diri, ridla dan taat mutlak hanyalah diserahkan kepada Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasllam.

Mengimani bahwa Allah Ta’ala adalah HAKIM (penentu hukum) berarti sudah mengimani bahwa Allah sebagai Rabb dan sebagai Ilaah (Pengatur segalanya dan satu-satunya yang berhak disembah).

Oleh karena itu, tidak ada sekutu bagi Allah dalam hukum dan keputusan-Nya.

Memberlakukan (membuat) hukum tidak berdasarkan izin Allah, berhukum kepada THAGHUT-(5), mengikuti selain syari’at (ketentuan) Muhammad shallallahu ‘alaihi wasllam, dan merubah sedikit saja dari syariat itu BERARTI KAFIR.

Dan siapa pun yang beranggapan bahwa seorang mempunyai kebebesan untuk keluar dari ketentuan Muhammad shallallahu ‘alaihi wasllam, maka sungguh-sungguh dia telah KAFIR.
*

5. Berhukum dengan selain apa yang telah diturunkan oleh Allah adalah KUFUR AKBAR, tetapi terkadang hanya KUFUR DI BAWAH KUFUR (kufur kecil: tidak mengeluarkan pelakuknya dari Islam-pent.)

Hukum yang pertama (kufur akbar) ialah: manakala beriltizam (berpegang) pada suatu ketentuan yang bukan ketentuan dari Allah, atau memperbolehkan berpegang kepada ketentuan selain Allah.

Hukum yang kedua (kufur Asghar) yaitu manakala menyimpang dari syari’at Allah dalam peristiwa tertentu karena mengikuti hawa nafsu, tepai tetap sikap berpegang pada syariat.
*

6. Membagi agama menjadi: HAKIKAT, yang hanya dikuasai orang-orang khusus, dan SYARI’AT yang diharuskan bagi orang-orang awam -bukan lagi orang khusus-, demikian pula memisahkan politik dll. dari agama ADALAH BATHIL.

Bahkan setiap apa yang bertentangan dengan syari’at, baik berupa HAKIKAT, politik dan sebagainya, bisa berarti KUFUR dan bisa berarti SESAT; masing-masing tergantung dengan tingkatanya.
*

7. Tidak ada yang mengetahui perkara GHAIB melainkan Allah sendiri. Keyakinan bahwa selain Allah dapat mengetahui perkara GHAIB adalah KUFUR.

Bersamaan dengan itu haruslah beriman bahwa Allah membukakan sedikit di antara perkata ghaib itu kepada sebagaian rasul-rasul-Nya.
*

8. Meyakini kebenaran tukang NUJUM dan DUKUN adalah KUFUR. Sedangkan mendatangi serta menghadiri mereka hukumnya: DOSA BESAR
*

9. WASILAH (perantaraan) yang diperintahkan di dalam Al-Qur’an ialah apa yang dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala berupa KETAATAN-KETAATAN yang disiyaratkan.

Sedang bertawassul (mengunakan wasilah) ada tiga macam:
o

a) DISYARIATKAN:

Yaitu bertawassul kepada Allah Ta’ala dengan (perantaraan) Asma’ wa Sifat-Nya, atau dengan amal shalih dari si pelaku tawassul (itu sendiri), atau dengan (perantaraan) daonya orang shalih ayng masih hidup.
o

b) BID’AH:

Yaitu bertawassul kepada Allah dengan sesuatu yang tidak di ajarkan oleh syariat, misalnya:

Bertawassul dengan dzat atau (diri) para nabi, dzatnya orang-orang shalih, atau dengan keluhuran, hak serta kehoramatan mereka dan seterusnya.
o

c) SYIRIK:

Yaitu menjadikan orang-orang mati sebagai perantara dalam ibadah, minta terpenuhinya kebutuhan serta minta pertolongan kepada mereka, dan lain-lain.

*

10. Berkah adalah dari Allah Ta’ala. Dia mengkhusukan sesuatu yang BERKAH pada sebagaian makhluk berdasarkan kehendak-Nya.

Maka sesuatu yanag berkah itu tidak bisa ditentukan sedikitpun kecuali berdasarkan DALIL

Berkah maksudnya: banyak melimpah ruah kebaikannya, atau kebaikan itu telah tetap dan pasti adanya.

Dan BERKAH, jika berkaitan dengan waktu (waktu yang berkah) adalah sulit untuk diukur.

Jika berkaitan dengan tempat (tempat berkah) ialah sepeti Masjid yang tiga (Masjidil Haram-Mekah, Masjid Nabawi-Madinah dan Masjid Aqsha-Palestina-pent.)

Jika berkaitan dengan benda (benda yang berkah) ialah seperti AIR ZAMZAM (karena banyak kebaikan-pent)

Jika berkaitan dengan pribadi seseorang ialah seperti: Dzat (diri)nya para nabi.

Dan tidaklah boleh mencari berkah (TABARUK ) diri pribadi seseorang, baik dzat maupun bekasnya. Melainkan pada dzat dan bekas Nabi shallallahu ‘alaihi wasllam, sebab tidak terdapat dalil melainkan pada dzat dan bekas beliau shallallahu ‘alaihi wasllam, namun itupun talah terputus DENGAN WAFAT dan hilangnya bekas belaiu.
*

11. Tabarruk (mencari berkah) adalah termasuk perkara TAUQIFIYAH (paket jadi Allah-pent), oleh karena itu tidak boleh bertabarruk melainkan dengan apa yang talah jelas dalilnya.
*

12. Ziarah dan perbuatan manusia di kuburan ada tiga macam:
o

Petama: DISYARI ‘ATKAN: Yaitu ziarah kubur untuk mengingatkan akhirat serta untuk memberi salam dan mendoakan penghuni kuburan.
o

Kedua: BID’AH, meyebabkan tidak sempurnanya tauhid dan merupakan salah satu jalan menuju SYIRIK.

Yaitu dengan tujuan beribadah dan bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah di (tanah) kuburan, bermaksud mencari berkah di kuburan, bermaksud menghadiahkan pahala di dalamnya, membuat bangunan diatasnya atau membangun kubah, membuat penerangan dan menjadikannya sebagai masjid serta sangat menekankan untuk pergi ke sana, dan lain-lain yang telah ditetapkan larangannya atau yang asal-usulnya tidak ada dalam syari’at.
o

Ketiga: SYIRIK yang berarti menghilangkan TAUHID yaitu mengalihkan bentuk-bentuk ibadah, ditujukan kepada penghuni kuburan, misalnya: berdoa kepadanya, tidak kepada Allah. Meminta pertolongan, mengeluh, thawaf, meyembelih binatang, nadzar dll. Ditujukan kepada penghuni kubur.

*

13. Sarana mempunyai hukum yang sama dengan materi yang dituju, setiap celah bisa menyebebkan kemusyrikan dalam ibadah atau bisa menyebabkan bid’ah dalam agama, maka wajib disekat. Setiap yang baru dalam agama adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah SESAT.



Keterangan

*

(1). Tauhid Al-Iradi At-Thalabi artinya Tauhid yang menjadi kehendak dan tuntunan. Dengan istilah lain disebut sebagai TAUHID FIT-THALAB WAL-QASDHI. (Perhatikan Fathul –Majid) Pada umumnya disebut: Tauhid Uluhiyah, Tauhid Ilahiyah atau Tauhid Ubudiyah.
*

(2). ISTIGHATSAH. Syaikul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan: “Istighatsah ialah meminta dihilangkannya kesulitan.” Istigatsah merupakan bagaian dari pada doa. Bedanya, kalau doa umum, sedangkan Istighatsah merupakan bagian khusus untuk melenyapkan kesulitan, atau dengan bahasa lain mengeluh. (Fathul Majid Bab Minas-Syirki An-Yastaghitsa bighairillah.)
*

(3). Yang dimaskud dengan Haruri ialah Khawarij. Khawarij sering disebut Harurui (barangkali) disebabkan berkumpulnya mereka di suatu tempat yang disebut harura’ dekat Kufah ketika mereka mengeluarkan diri dari keimamahan Ali radhiallahu ‘anhu di bawah pimpinan antara lain ]Abdullah bin Al-Kawa dan Harqush bin Zubair yang dikenal sebagai seorang laki-laki yang berpayu-dara.

Khawarij adalah kelompok pertama yang keluar dari jama’ahnya kaum muslimun (pada saat kepemimpinan Ali radhiallahu ‘anhu)

Faham mereka yang terkenal ialah: Mengkafirkan orang yang berbuat dosa besar, dan mengharuskan keluar dari keimamahan seseorang jika ia melakukan sesuatu hal yang bertentangan dengan Sunnah. Dan mereka mengkafirkan Utsman serta Ali radhiallahu ‘anhuma dan kelompknya. (Perhatikan Majmu’ Fatawa. Jld. III hal. 104, 279 & 355. Al-Milal wan Nihal dalam Hamsiy Al-Fashlu fil Milal. Jld, I hal, 157 atau dari hal. 155-185).
*

(4). Murj’iah adalah kelompok yang terlalu optimis berkenaan dengan masalah iman. Menurut mereka (dalam seluruh alirannya) iman adalah sekedar mengenal Allah yang disertai keyakinan dan kecintaan hati. Jadi amal perbuatan bagaimanpun kufurnya, asalkan hatinya tetap mengenal dan yakin, maka dia tetap dikatakan mukmin (meskipun ia melakukan perbuatan syirik). Bahkan ada di antara Murjiah yang mengatakan bahwa tolak ukur iman atau tidaknya seorang tergantung pada ucapnya, maka jika seseorang telah mengucapkan kalimat syahadat ia adalah mukmin, baik ia melaksanakan tuntunanya atau tidak, dengan demikian menurut mereka, orang munafik adalah benar-benar mukmin.

Menurut Murji, IMAN itu bisa bertambah tetapi tidak bisa berkurang…. dst….(perhatikan Al-Milal wan Nihal dalam Hamisy Al-Fashlu fil Milal Jld. I hal. 187 dst. Juga fathul Majid bab II. 34).
*

(5). Thaghut; berasal dari akar kata (At-Thug-yan) artinya melampaui batas, Menurut riwayat Ibnu Abi Yatim, Umar bin Kahtab mengatakan:Thaghut adalah Syetan. Sedangkan Jabir radhiallahu ‘anhu mengatakan:Thaught ialah setiap apa yang disembah selain Allah.

Imam Ibnul-Qayyim secara lebih luasa mendefiniskan bahwa: (Thaghut ialah segala sesuatu yang oleh seorang manusia diperlakukan secara berlebihan, baik seseuatu itu disembah, diikuti atau ditaati. Jadi Thaghut adalah sesuatu yang oleh orang-orang dijadikan sebagai tempat berhukum selain Allah dan Rasul-Nya, atau disembah selain Allah, atau diikuti dan di taati tanpa berdasarkan petunjuk sama sekali dari Allah….). (Fathul Majid bab yang pertama. Hal.17-18)

Sedangkan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab mengatakan: (Thaghut adalah umum bagi setiap apa yang disembah selain dari Allah sedangkan ia rela untuk diibadahi, baik itu sesuatu yang disembah, diikuti atau ditaati bukan dalam rangka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Thaghut itu sendiri banyak, namun pokoknya ada lima:
o

1. Syetan yang mengajak beribadah kepada selain Allah (QS. Yasin 36: 60)
o

2. Al-Hakim yang dhalim yang merubah hukum-hukum Allah QS. An-Nisa 4: 60
o

3. Seseorang yang menghukumi tidak dengan apa yang diturunkan oleh Allah, QS. Al-Maidah 5: 44.)
o

4. Yang mengaku mengerti perkara ghaib selain Allah (dukun dkk. ) QS Al-Jin 72: 26-27.
o

5. Yang disembah selain Allah sedangkan dia rela diperlakukan demikian. QS 21: 29 ). (Perhatikan Majmu’at Tauhid, Muh. Ibnu Abdil Wahhab, hal. 9-10)

TAUHID ILMI I’TIQADI-(1) (Tauhid Rububiyah, Asma’ dan Sifat)

II. TAUHID ILMI I’TIQADI-(1) (Tauhid Rububiyah, Asma’ dan Sifat)

*

1. Prinsip utama dalam masalah Asma ‘wa Sifat Allah Ta’ala ialah; meng-ITSBAT-kan (menetapkan) apa yang telah di-ITSBAT-kannya oleh Allah bagi diri-Nya, atau telah di-ITSBAT-kannya oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bagi Allah; tanpa TAMTSIL-(2) dan tanpa TAKYIF-(3) Juga menafikan apa yang telah dinafikan oleh Allah atau oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam dari diri-Nya; tanpa TAHRIF-(4) dan tanpa TA’THIL-(5), sebagaimana Allah Ta’ala berfirman: “Tidak ada sesuatu pun yang menyerupai Allah, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat” (Qs. Asy-Syura 42:11)

Berbareng dengan itu, harus (pula) mengimani makna-makna dari setiap lafazh nushush (nash) dan yang ditunjuk oleh-Nya.
*

2. Tamtsil (menyerupakan) dan ta’thil (menafikan) dalam masalah ‘asma dan sifat Allah adalah KUFUR.

Adapun TAHRIF (Menyelewengkan lafazh atau makna asma’ dan sifat Allah) yang oleh ahlul bid’ah disebut TAKWIL-(6); maka di antaranya ada KUFUR seperti TAKWIL model BATHINIYAH-(7), di antaranya lagi ada yang bid’ah dhalalah (sesat) seperti takwil yang dilakukan oleh para penafi sifat (Allah), (Para penafi sifat di sini antara lain Mu’tazilah dan Asy’ariyah.

Salah satu prinsip ajaran Mu’tazilah di antara lima pokok ajaran ialah: TAUHID. Tetapi yang mereka maksudkan tauhid adalah menafikan sifat Allah, sebab kalau harus menetapkannya -menurut anggapan mereka- berarti harus menetapkan beberapa yang sifat QADIM; Dzat Allah qadim (tiada awal dan tiada yang mengawali-Nya), sifat-sifat-Nya qadim, dan juga sifat Allah banyak berarti terjadi banyak hal yang bersifat qadim; ini berarti (menurut mereka) SYIRIK.

Sebagai konsekuensinya mereka harus menolak sifat Allah, mereka katakan: Allah mengetahui tetapi sifat Ilmu, Allah melihat, tetapi tanpa penglihatan (serba otomatis-pent.) dan seterusnya. Anggapan mereka ini jelas bertentangan dengan Al-Haq yang dianut oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah. (Perhatikan Syarhut-Thahawiyah hal. 474, dan Ar-Risalah At-Tadmuriyah hal. 12)

Sedangkan Asy’ariyah menetapkan tujuh sifat Dzatiyah bagi Allah berdasarkan ketetapan logika, dan mereka menafikan sifat-sifat Fi’liyah Allah serta mentakwilkannya kepada makna lain.(Lihat Ar-Risalah At-Taadmiyah hal. 22).) dan ada pula yang hanya sekedar kesalahan.
*

3. Wihdatul Wujud (manunggaling kawula gusti) serta keyakinan bahwa Allah menjelma atau menyatu dengan suatu makhluk di antara makhluk-makhluk-Nya adalah KUFUR – keluar dari agama.
*

4. Mengimani adanya MALAIKATUL KIRAM secara global. Adapun rincian nama-nama, sifat-sifat dan pekerjaan-pekerjaan mereka, harus didasarkan pada dalil yang shahih dan terbatas ilmu pengetahuan seorang mukallaf (dewasa).
*

5. Iman kepada seluruh kitab yang telah diturunkan.

Iman bahwa Al-Qur’an adalah yang paling afdhal (utama) dan menghapus (syari’at) kitab sebelumnya. Oleh karena itu wajib hanya ber-ittiba’ (mengikut) kepada Al-Qur’an tanpa kitab sebelumnya.
*

6. Iman kepada para nabi dan rasul Allah –Shalawatullah wassalamuhu ‘alaihim- Mereka adalah orang-orang ter-afdhal dibanding manusia-manusia lain, dan siapa saja yang tidak beranggapan demikian, maka ia adalah KAFIR.

Apabila ada dalil shahih tentang (berita) salah seorang tertentu di antara mereka, maka wajib mengimaninya secara tertentu pula. Wajib beriman kepada keseluruhan mereka secara global. Wajib mengimani bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah yang paling utama dan paling akhir di antara mereka, dan Allah telah mengutusnya untuk menusia seluruhnya.
*

7. Iman dengan terputusnya wahyu sesudah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau adalah nabi dan rasul penutup. Siapa yang berkeyakinan tidak demikian adalah KAFIR
*

8. Iman kepada hari Akhir, kepada berita-berita yang Shahih tentangnya dan kepada gejala serta tanda-tanda yang mendahuluinya.
*

9. Iman kepada taqdir Allah -baik dan buruknya-, yakni dengan mengimani bahwa Allah Ta’ala mengetahui apa yang bakal terjadi sebelum terjadi, dan Dia menuliskan hal itu di-LAUH MAHFUDH.-( LAUH MAHFUDH: Sebuah tempat yang tersebut dalam QS. Al-Buruuj 85: 21-22)

بَلْ هُوَ قُرْآنٌ مَجِيْدٌ فِيْ لَوْحٍ مَحْفُوْظٍ

“Bahkan (yang didustakan oleh mereka) itu ialah Al-Qur’an yang mulia, yang (tersimpan) dalam Lauhul Mahfudh”. Dan juga tersebut dalam hadits riwayat At-Thabrani (yang menurut Al-Haitsami MAUQUF kepada Ibnu Abbas tetapi rijalul isnadnya TSIQAT); (maknanya kurang lebih) “Sesungguhnya Allah telah menciptakan Lauh Mahfudh, dari seberkas sinar putih, kedua tepiannya terdiri dari batu mulia berwarna merah, penanya adalah nur, dan luasnya seluas antara langit dan bumi. Allah melihat (Lauh Mahfudh ini) setiap hari (sampai) tiga ratus enam puluh kali. Setiap kali melihat Dia menciptakan, menghidupkan, mematikan, memuliakan, menghinakan, dan melakukan apa yang Dia kehendaki”.

Lauh Mahfuzh tersebut adalah sebuah tempat yang di dalamnya Allah menuliskan segala takdir (ketentuan) mekhluk-makhluk-Nya. (Perhatikan: Syarhut-Thahawiyah fil Aqidah As-Salafiyah hal. 217).)

Bahwa apa yang dikehendaki Allah pasti terjadi, sedangkan apa yang tidak dikehendaki pasti tidak terjadi.

Maka (sesuatu) tidak terjadi kecuali menurut apa yang telah Dia kehendaki. Allah Ta’ala berkuasa atas segala sesuatu Dia pencipta segala sesuatu dan Dia pasti berbuat sesuai dengan keinginan-Nya.
*

10. Iman kepada perkara-perkara ghaib yang didasarkan pada dalil shahih seperti: Al-‘ARSY-(8), AL-KURSIY-(9), Surga, Neraka, nikmat atau siksa kubur, AS-SHI-RATH-(10), AL-MIZAN-(11) dan lain sebagainya; tanpa men-TA’KIL-kan sesuatu pun dari yang demikian.
*

11. Iman dengan (adanya) Syafaat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam serta syafaat nabi-nabi lainnya, syafaat para malaikat, orang-orang shalih dan lain-lain pada hari Kiamat, sebagaimana telah dijelaskan rinciannya di dalam dalil-dalil yang shahih.
*

12. Ru’yah (melihatnya) kaum Mukminin kepada Rabb’-nya pada hari kiamat di SURGA maupun di padang MAHSYAR adalah haq (benar) adanya. Siapa yang mengingkari atau mentakwilkannya berarti ia sesat dan menyimpang.

Sedangkan ru’yah (melihat Rabb) itu tidaklah mungkin terjdi pada siappa pun di dunia.
*

13. Karamah bagi para Wali (kekasih-kekasih) Allah serta orang-orang shalih adalah haq (benar) adanya, namun tidak setiap kejadian di luar nalar (KHARIQ LIL ‘ADAH) biasa disebut KARAMAH, tapi mungkin hal itu banyak merupakan ISTIDRAJ-(12) atau karena PENGARUH SYETAN DAN ORANG-ORANG BATHIL.

TOLAK UKURNYA ialah sejalan atau tidaknya dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
*

14. Kaum mukminin kesemuanya merupakan wali-wali Ar-Rahman, dan setiap mukmin mendapat kasih-sayang (walayah) sesuai dengan kadar imannya.



Keterangan:

*

(1). Tauhid Ilmi I’tiqadi ialah tauhid yang berkaitan dengan pengilmuan (pemahaman dan pengenalan) terhadap Allah Ta’ala, Asma’, Sifat-sifat, perbuatan-perbuatan. qadla’ dan qadar-Nya.

Tauhid inilah yang harus melandasi I’tiqad seseorang sebelum mengilmui dan mengimani tauhid ULUHIYAH.

Seperti diungkapkan oleh Ibnul Qayyim dan Ibnu Abil’Izzi Al-Hanafi, tauhid ini juga biasa disebut: Tauhid fil Ma’rifah wal Itsbat atau Tauhid Al’Ilmi Al-Khabari. (Syarhut Thahawiyah…hal.35 dan Fathul Majid Syarhu Kitabit Tauhid).
*

(2). Tamtsil artinya Tasybih yakni, menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya seperti mengatakan: Allah punya tangan dan tangan-Nya seperti tangan manusia dan seterusnya

(Perhatikan: Muhammad Khalil Harras-Syarhul ‘Aqidah Al-Wasithiyyah Syaikhil Islam Ibni Taimiyah, terbitan Maktabah At-Turatsil Islami-Kairo tanpa tahun hal. 23. Lihat pula: Diktat Al-Majmu’ Al-Mufid li Masa’il Muhimmah Minat Tauhid untuk kelas ta’hilil tahun ajaran 1408 H. Ma’had ‘Ulumil-Islamiyah wal ‘Arabiyah-Jakarta, tulisan Ust. Abdulah bin Abdul Aziz Al-Iedan).
*

(3). TAKYIF artinya mempertanyakan bagaimana bentuk sifat Allah. (Perhatikan dua buku marji’ pada foot note no. (2)).

Oleh karena itu, Imam Malik dan imam-imam salaf lainya ketika ditanya tentang makna ayat::

اَلرَّحْمَـنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى

“Yang Maha Rahman bersemayam (ber-istiwa’) di atas Arsy” (Qs. Thaha 20: 5),

mereka menjawab: ISTIWA’ (bersemayam) telah difahami maknanya, tetapi bagaimana bersemayam-Nya?, adalah MAJHUL (tidak diketahui oleh makhluk), sedangkan mengimani hal itu adalah wajib, adapun bertanya tentang BAGAIMANANYA adalah pertanyaan BID’AH. (Ibnu Taimiyah – Ar-Risalah At-Tadmu-riyah-Mujmal I’tiqadis Salaf, terbitan Jami’atul Imam Muh. Ibni Su’ud Al-Islamiyah – Fak. Syari’ah – KSA – tanpa tahun hal. 62).
*

.(4). TAHRIF: Tahriful Kalam artinya menyelewengkan makna suatu pembicaraan dari yang sebenarnya kepada yang tidak sebenarnya TANPA didukung dalil. (Muhammad Khalil Harras: Syarhul Aqidah Al-Wasithiyyah Syaikhul Islami Ibni Taimiyyah… hal. 22).

Ustadz Abdullah bin Abdul Aziz Al ‘Iedan dalam diktat Al-Majmu’ Al-Mufidnya mendefinisikan bahwa:

TAHRIF ialah: Menyelewengkan lafazh atau makna ayat-ayat sifat, misalnya; (Menyelewengkan lafazh):

وَكَلَّمَ اللهُ مُوْسَى تَكْلِيْمًا

Ayat (Qs. An-Nisa’/4: 164): Lafzhul Jalalah (الله) yang seharusnya RAFA’, bermakna: Dan Allah mengajak bicara kepada Musa secara langsung” oleh ahlul bid’ah di-NASHAB-kan menjadi:

وَكَلَّمَ اللهَ مُوْسَى تَكْلِيْمًا

hingga artinya berubah: “Musa mengajak bicara kepada Allah”. Hal itu dimaksudkan untuk mengingkari sifat “mengajak bicara”nya Allah

(Menyelewengkan makna):

Sifat Al-Ghadhab (الْغَضَبُ) yang berati “MARAH”, oleh ahlul bid’ah diartikan: “Kehendak untuk membalas”.

Sifat Dzatiyah: Yad (tangan), diartikan: Nikmat atau kekuasaan dan lain-lain.
*

(5). TA’THIL artinya menafikan sifat-sifat Allah dan menafikan makna sesungguhnya dari ayat-ayat Asma’ dan Sifat. (Perhatikan Syarhul ‘Aqidah Al Wasithiyyah…..hal. 22)
*

(6). Makna TAKWIL menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah ialah:

1. HAKIKAT yakni kenyataan sesungguhnya dari suatu pembicaraan atau suatu perkara. Contoh: Takwil tentang berita ghaib yang ada dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah seperti SURGA, KENIKMATAN SURGA, NERAKA, HARI AKHIR dan seterusnya. ARTINYA: hal-hal itu benar ada secara hakiki. Hanya saja hakikat Surga seperti apa, madunya seperti apa (madunya benar-benar hakiki adanya, tetapi pasti beda dengan madu dunia. Inilah yang disebut MUTASYABIH/ serupa dari segi nama, namun dari segi hakikat MUHKAM/ pasti adanya), Neraka hakikatnya seperti apa ?, tidak seorang pun yang tahu hakikat sebenarnya. Tetapi adanya jelas hakiki. Itulah yang dimaksudkan oleh ayat:

وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيْلَهُ إِلاَّ اللهُ

jika dibaca waqaf sampai kata (إلا الله) (Ali Imran: 3) yang berarti: “Tidak ada seorang pun yang mengetahui hakikat sebenarnya melainkan Allah”.

Contoh lain: Apa yang dikatakan oleh Nabi Yusuf alaihis salam kepada kedua orang tuanya ketika sudah duduk di singgasana sebagai raja:

هَذَا تَأْوِيْلُ رُؤْيَايَ مِنْ قَبْلُ

“Inilah takwil/ hakikat mimpiku sebelumnya” (Qs. Yusuf/12: 100).

II .Berarti TAFSIR dan penjelasan. Istilah takwil ini banyak dipakai oleh para mufassirin (ahli tafsir) seperti Ibnu Jarir dan lain-lain.

Kemudian istilah Takwil mnenjadi popular dikalangan MUTA’AKHIRIN dari para ahli fiqih dan AHLI KALAM dengan pengertian:

“Mengalihkan makna suatu lafazh dari yang sebenarnya kepada yang bukan sebenanarnya karena dalil”. Inilah yang banyak mengundang permasalahan. Oleh karena itu jika istilah/ pengertian takwil yang terakhir ini benar-benar berdasarkan dalil, maka bisa dibenarkan. Tetapi jika tidak berdasarkan dalil, maka harus ditolak. (Perhatikan Syarhut-Thahawiyah Fil Aqidah As-Salafiyah hal. 162-164. Ar-Risalah At-Tadmuriyah Mujmal I’tiqadus –Salaf-Ibnu Taimiyah hal. 59-60 dan Da’ru Ta’arudlil Aqli wan Naqli-Ibnu Taimiyah-Tahqiq Dr. Muhammad Rasyad Salim-cetakan pertama terbitan: Jami’atul Imam Muhammad Ibnu Su’ud Al-Islamiyah 1979/ 1299 H. hal. 14).
*

(7). Aliran BATHINIYAH: ialah aliran syi’ah Isma‘iliyah yang menetapkan imamah sesudah Ja’far (Ja’far As-Shadiq adalah seorang imam menurut faham syi’ah) adalah Isma’il bin Jafar berdasarkan ketetapan nash. Tetapi kemudian Isma’il ini mati maka satu kelompok diantara mereka beranggapan bahwa; ia tidak mati, tetapi hanya berpura-pura sebagai TAQIYYAH supaya tidak dibunuh oleh para khalifah Abbasiyah. Sedangkan satu kelompok lagi beranggapan bahwa ia mati sungguh-sungguh. Namun berhubung nash imamah sudah ditetapkan sedangkan nash itu tidak mungkin ditarik kembali, maka peristiwa kematiannya berfungsi sebagai pengalihan imamah kepada anaknya. Oleh karena itu imamah kemudian dipegang oleh Muhammad bin Isma’il.

Dan AL-BATHINIYAH itu sendiri merupakan aliran yang berfaham bahwa imamah terhenti pada Isma’il bin Jafar dan Muhammad bin Isma’il. (Al-Milal wan Nihal-Asy-Syahristani, di dalam HAMISY daripada Al-Fashlu fil Milal wal Ahwa’ wan Nihal - Ibnu Hazm Adh-Dhohiri, cet. II th. 1395 H./1975 M. Darul Ma’rifah-Beirut-Libanion, jld.2 hal. 5)

(Selanjutnya pada buku yang sama hal. 29)

Mereka adalah aliran yang mempunyai pola dakwah yang selalu berubah pada setiap zaman, dan mempunyai perkataan yang selalu baru tergantung pada siapa yang mengatakannya.

Mereka disebut Al-Bathiniyah karena ketetapan bahwa setiap yang dhahir mempunyai makna bathin, dan setiap ayat yang turun harus ditakwil.

Julukan mereka banyak. Di Irak dikenal: Bathiniyah, Qaramithah dan Mazdukiyah. Di KHURASAN dikenal: Taklimiyah dan Mulhidah (aliran yang menyimpang). Dan mereka menyebutkan diri sendiri sebagai: Isma’iliyah, karena anggapannya, dengan nama ini mereka terbedakan dari syi’ah-syi’ah lainya.

Faham mereka tentang Allah: bahwa Allah, TIDAK dikatakan ADA dan tidak pula tidak ada. Dia tidak dikatakan pintar dan tidak dikatakan bodoh, tidak dikatakan KUASA dan tidak dikatakan TIDAK KUASA dan seterusnya.

Dalam Ar-Risalah Attamdmuriyah-Ibnu Taimiyah hal. 11 dan seterusnya dikatakan bahwa mereka memiliki kesamaan faham dengan orang kafir, kaum musyrikin, ahlul kitab dan seterusnya yakni mereka menetapkan sifat negatif secara terinci bagi Allah, oleh karena itu apa yang mereka katakan benar-benar sudah sampai pada bentuk meniadakan hakekat Dzat Allah dan sampai pada bentuk menyerupakan Allah dengan hal-hal yang tidak mungkin ada atau dengan benda-benda mati .. demikianlah seterusnya .. mereka melakukan tahrif atau takwil terhadap ayat-ayat Allah Ta’ala.

(Kemudian dalam Ar-Risalah At-Tadmuriyah hal. 33-34 diungkapkan sebagai berikut:)

Akhirnya mereka menjadikan SYARIAT, berupa perintah dan larangan mempunyai takhwil bathin yang bertentangan dengan pemahaman kaum muslimin. Mereka katakan bahwa: perintah shalat lima waktu berarti perintah untuk mengenal rahasia, puasa Ramadhan berarti perintah untuk menyimpan rahasia mereka dan seterusnya.

Demikianlah mereka telah mendustakan ayat-ayat Allah serta perintahnya dengan kedok takwil. Mereka telah melakukan berbagai perubahan terhadap ayat-ayat Allah Ta’ala.

Dan Bathiniyah adalah golongan yang menyimpang atau ingkar yang menurut ijma’ kaum muslimin: Lebih KAFIR daripada Yahudi dan Nashrani.
*

(8). Al-‘Arsy ialah singgasana yang mempunyai beberapa kaki yang dipikul oleh malaikat. Ia bagaikan kubah alam semesta. Ia adalah atapnya segenap makhluk. Allah berfirman (Qs. Al-Haaqah/69: 17)

وَيَحْمِلُ عَرْشَ رَبِّكَ فَوْقَهُمْ يَوْمَئِذٍ ثَمَانِيَةٌ

“Dan pada hari itu delapan orang malaikat mengangkat Arsy Tuhanmu di atas kepala mereka”.

Lihat pula Qs. Al-Ghafir 40:70. Dari hadits shahih riwayat Al-Bukhari dan Muslim; Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

فَإِنَّ النَّاسَ يَصْعَقُوْنَ فَأَكُوْنُ أَوَّلَ مَنْ يَفِيْقُ فَإِذَا أَنَا بِمُوْسَى آخُذُ بِقَائِمَةٍ مِنْ قَوَائِمِ الْعَرْشِ فَلاَ أَدْرِيْ أَفَاقَ قَبْلِيْ أَمْ بَعْدِيْ.

“Maka sesungguhnya manusia semuanya pingsan, aku adalah yang pertama siuman. Tiba-tiba aku bersama Musa ‘alaihis salam berpegang pada salah satu kaki di antara kaki-kaki Arsy. Aku tidak tahu apakah ia siuman sebelumku atau sesudahku….”

Dalam Sunan Abi Dawud; kitab As-Sunnah No. 4726, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِنَّ عَرْشَهُ عَلَى سَمَاوَاتِهِ لَهَكَذَا، وَقَالَ بِأَصَابِعِهِ مِثْلَ الْقُبَّةِ.

“Sesungguhnya Arsy-Nya Allah di atas langit-langit adalah seperti ini -beliau mengatakan sambil mengisyaratkan dengan jari-jarinya- seperti KUBAH”.

Dalam Kitab Shahih Bukhari dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda:

إِذَا سَأَلْتُمُ اللهَ الْجَنَّةَ فَاسْأَلُوْهُ فِرْدَوْسَ فَإِنَّهُ أَوْسَطُ الْجَنَّةِ وَأَعْلَى الْجَنَّةِ وَفَوْقَهُ عَرْشُ الرَّحْمَنِ.

“Apabila kamu memohon Surga kepada Allah, maka mohonlah surga Firdaus, karena sesungguhnya Firdaus itu adalah Surga paling tengah-tengah dan Surga paling atas, dan DI ATAS-nya adalah ‘ARSY-Nya Yang Maha Rahman”.

Kalimat (di –ATAS-nya) ditafsirkan: dan sebagai ATAP-nya.

Kemudian Al’Arsy itu terletak di atas air, perhatikan QS. HUD 11: 7. Juga Shahih Muslim: 2: 300.

(Perhatikan Syarhut-Thahawiyah fil- ‘Aqidah As-Salafiyah hal. 229-231).
*

(9). Al-KURSIY: Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam kitab SIFAT ARSY, dan di riwayatkan pula oleh Al-Hakim di dalam Al-Mustadrak –yang menurut beliau- periwayatannya sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan oleh Bukhari Muslim namun beliau berdua tidak mengeluarkan riwayat ini: Dari Sa’id bin Jubair dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma tentang ayat 255 surat Al-Baqarah:

وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَـوَاتِ وَاْلأَرْضَ

“Luasnya Kursi Allah seluas langit dan bumi”. Ibnu Abbas berkta: Al-Kursiy adalah tempat meletakkan kedua Telapak Kaki Allah.

Ibnu Jarir At-Thabrari (tafsir At-Thabrari J 3 Hal. 8 terbitan Bulaq) meriwayatkan dari Abu Dzar: Saya dengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidaklah Al-Kursy itu (dibandingkan Al-Arsy) melainkan seperti gelang dari besi yang dilemparkan ke tengah-tengah gurun pasir yang luas”.

(Perhatikan Syarhut-Thahawiyah fil Aqidah As-Salafiyah hal. 232 dan Fathul Majid Syarh Kitabit Tauhid bab paling akhir).
*

(10). As-Shirath ialah jembatan membentang di atas Jahanam yang bakal dilintasi oleh manusia setelah mereka berada dalam sebuah kegelapan, seperti diceritakan oleh Aisyah radhiallahu ‘anha manakala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasalla ditanya tentang “di mana manusia berada ketika bumi pijakannya sudah lain? Beliau menjawab: Mereka di dalam sebuah kegelapan di belakang JEMBATAN (As-Shirath)”.

Menurut beberapa riwayat, antara lain diceritakan oleh Al-Baihaqi dan Al-Hakim di dalam Al-Mustadrak: Bahwa ketajaman As-Syirath bagaikan tajamnya mata pedang, dan sangat licin. Kecepatan orang yang melintas di atasnya akan sesuai dengan nur yang mereka miliki, maka ada di antaranya yang berjalan secepat jatuhnya sebuah bintang, ada yang seperti angin, ada yang seperti orang-orang berlari-lari kecil, ada yang merayap dst….

(Perhatikan cerita selengkapnya dalam Syarhut-Thahawiyah hal. 396-370, dan Mustadrakul Hakim 2: 275).
*

(11). Al-Mizan: adalah alat untuk menimbang amal perbuatan manusia Firman Allah:

فَمَنْ ثَقُلَتْ مَوَازِيْنُهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ، وَمَنْ خَفَّتْ مَوَازِيْنُهُ فَأُولَئِكَ الَّذِيْنَ خَسِرُوْا أَنْفُسَهُمْ.

“Maka barangsiapa yang berat timbangan amalnya, mereka itulah orang-orang yang beruntung, dan barangsiapa yang ringan timbangan (amalnya) maka mereka itulah yang merugikan dirinya sendiri….” (Qs. Al-A’raf/7: 8-9)

Menurut Al-Qurthubi: para ulama berpendapat bahwa berlakunya Mizan ini setelah manusia dihisab. Jadi setelah dihisab, baru amal mereka ditimbang dan akhirnya masing-masing mendapat balasannya.

Dan menurut riwayat Ahmad dalam Al-Musnad: Al-Mizan mempunyai dua ujung, apabila salah satu ujungnya diisi dengan daftar catatan amal perbuatan manusia yang jumlahnya mencapai 99 daftar catatan, sedangkan masing-masing panjangnya sejauh mata memandang, dan satu ujungnya lagi diisi kartu yang berisikan kalimat syahadat, maka ujung yang diisi harta yang berisikan syahadat tersebut akan lebih berat.

(Perhatikan cerita lengkapnya dalam Syarhrt Thahawiyah hal. 371-372.

Perhatikan pula Fathul Majid – Bab Fadhlit-Tauhid wamaa Yukaffiru minadzunub yang menukil dari riwayat Ibnu Hibban dan Al-Hakim).
*

(12). Firman Allah Ta’ala:

وَالَّذِيْنَ كَذَّبُوْا بِآيَاتِنَا سَنَسْتَدْرِجُهُمْ مِنْ حَيْثُ لاَ يَعْلَمُوْنَ

“Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, nanti Kami akan menarik mereka secara bertahap (ke arah kebinasaan), dengan cara yang tidak mereka ketahui”. (QS. Al-A’raf/7: 182).

(Istidraj) menurut Ibnu Katsir, artinya: akan dibukakan pintu-pintu rizki dan berbagai kemudahan hidup di dunia, hingga mereka menjadi lalai dengan apa yang mereka ada di dalamnya, sementara mereka tetap yakin bahwa hal itu berguna, sebagimana Firman Allah:

فَلَمَّا نَسُوْا مَا ذُكِّرُوْا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى إِذَا فَرِحُوْا بِمَا أُوتُوْا أَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً فَإِذَا هُمْ مُبْلِسُوْنَ. فَقُطِعَ دَابِرُ الْقَوْمِ الَّذِيْنَ ظَلَمُوْا وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.

“Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu kesenangan untuk mereka, hingga jika mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan pada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong maka ketika itu mereka terdiam putus asa. Maka orang-orang zhalim dimusnahkan sampai ke akar-akarnya. Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam”. (QS. 6: 44-45)-Tafsir Ibnu Katsir, juz II hal. 270.

DASAR-DASAR PIJAKAN AHLUS SUNNAH

I. DASAR-DASAR PIJAKAN AHLUS SUNNAH

*

1. Sumber aqidah adalah Kitabullah, Sunnah Rasul-Nya yang shahihah dan IJMA’ para As-Salafus-Shalih.
*

2. Setiap yang shahih dari sunnah Rasululah shallallahu ‘alaihi wasallam, hukumnya wajib diterima meskipun jalan periwayatannya AHAD.( Khabar AHAD ialah khabar yang tidak memenuhi persyaratan MUTAWATIR, yakni jumlah perawi pada masing-masing tingkat sanadnya tidak mencapai jumlah minimal mutawatir yaitu sepuluh orang perawi. (Perhatikan: Taisir Musthalahil Hadits – Dr. Mahmud At-Thahhan)

Sementara itu, KHABAR AHAD bagi Ahli Sunnah wal Jama’ah: apabila umat Islam (ahlul hadits) telah sepakat menerimanya-yakni telah meyakini keshahihannya dan bisa dijadikan pedoman beramal-maka ia harus diterima sebagai sumber ilmu yang meyakinkan, dan berati menjadi bagian tak terpisahkan dari khabar MUTAWATIR. (Artinya ia harus menjadi landasan syari’ah maupun AQIDAH. Hal ini telah disepakati oleh SALAFUL UMMAH).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga banyak mengirimkan da’i-da’i secara AHAD (sendiri-sendiri) tetapi obyek dakwahnya dapat menerima dan tidak pernah menolak dengan alasan: pemberitaannya ahad.

(Perhatikan Ibnu Abil ‘Izzi Al-Hanafi: Syarhut-Thahawiyah fil ‘Aqidah As-Salafiyah-Tahqiq: Ahmad Muhammad Syakir cet. II Terbitan: Jami’atul Imam Muhammad Ibnu Su’ud Al-Islamiyah-KSA. Hal.308) )
*

3. Tempat kembali untuk memahami Al-Kitab dan As-Sunnah adalah: nash-nash penjelasnya itu sendiri, kemudian pemahaman As-Salafus-Shalih serta para imam yang berjalan sesuai dengan manhaj mereka, kemudian pemahaman bahasa Arab yang shahih yang penggunaan kemungkinan makna kandungannya tidak bertentangan dengan ketetapan yang ada.
*

4. Semua permasalahan ushuluddin telah dijelaskan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan tidak ada seorang pun yang berhak mengada-adakan hal-hal baru dengan anggapan bahwa itu termasuk agama.
*

5. Menyerah kepada Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam secara lahir dan batin, oleh karena itu tidak akan menentang sedikitpun kepada Al-Kitab atau As-Sunnah yang shahihah baik dengan: qiyas, perasaan, penemuan maupun pendapat seorang kyai atau seorang imam dst.
*

6. Akal sehat sejalan dengan nash yang shahih, dan selamanya tidak akan bertentangan antara yang qath’i dari keduanya. Akan tetapi jika seolah-olah terjadi pertentangan, maka nash (harus) didahulukan.
*

7. Wajib ber-iltizam (berpegang) dengan istilah-istilah syar’i dalam (masalah) aqidah dan wajib menjauhkan istilah-istilah yang bid’ah.

Sedangkan istilah-istilah global yang mengandung makna salah dan benar, harus dicari kejelasan maksudnya; apabila haq, maka harus ditetapkan dengan istilah syar’i dan apabila bathil harus ditolak.
*

8. Kemakshuman hanya ada pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan ummat secara keseluruhan ketika ber-ijma’ juga ma’shum dari kesesatan. Akan tetapi orang-perorangan tidak makshum.

Apa yang diperselisihkan oleh para imam atau yang lain, tempat pengembalianya adalah Al-Kitab dan Sunnah dengan memaklumi kesalahan seorang mujtahid.

*

9. Di dalam umat ada orang-orang yang dituntun bicaranya dengan ILHAM (muhaddatsuun mulhamuun (مُحَدَّثُوْنَ/ Muhaddatsun jamak daripada muhaddats/ مُحَدَّثُ, para ulama berbeda penafsiran. Ada yang mengatakan: Orang yang diilhami. Mereka mengatakan: Al-Muhaddats ialah seseorang yang dugaannya tepat, yaitu seseorang yang dilontari sesuatu dari sisi Allah dalam spontanitas, sehingga ia seperti seorang yang berbicaranya dijalankan oleh yang lain. (Makna inilah yang ditetapkan oleh Abu Ahmad Al-‘Askari) Ada lagi yang mengatakan: (Ia adalah seorang yang bukan nabi dituntun bicaranya oleh malaikat).

Dan lain-lain penafsiran lagi, tetapi makna MUHADDATS pada pokoknya berkisar mengenai: (Seseorang yang berkata atau berlaku benar berdasarkan tuntunan ilham dari Allah padahal ia bukan nabi). Dalam Shahih Bukhari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (maknanya):

“….Kalau umatku ada yang demikian, maka ia adalah ’Umar”

(Periksa Fathul Bari Syarhul Bukhari-Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, jld. 7 Kitab Fadha’ilush-Shahabah-bab Manaqib Umar bin Khaththab, hadits no. 3689 dan penjelasannya, hal. 42 & 50, terbitan: Jami’atul Imam Muhammad Ibni Su’ud Al-Islamiyah, Riyadh-KSA-Tashhih Syaikh Ibni Baz).) Dan mimpi yang SHALIHAH benar-benar haq adanya, ia merupakan bagian dari nubuwah. Firasat yang shadiqah (yang benar) juga haq adanya, ini merupakan karamah dan mubasysyirah tetapi syaratnya harus sejalan dengan syari’at, dan ia bukan merupakan sumber bagi aqidah dan bukan pula bagi syari’ah.
*

10. Adu mulut (al-miraa’/المراء) mengenai agama merupakan perbuatan tercela, tetapi membantah (al-jidal) dengan cara yang baik: disyari’atkan, sedangkan adanya larangan shahih supaya tidak keterlaluan membicarakan agama, wajib dilaksanakan. Wajib pula menahan diri untuk tidak memperdalam pembicaraan masalah agama yang seorang muslim tidak mengetahuinya, dan menyerahkan permasalahan tersebut kepada Yang Maha Mengetahui Allah Ta’ala.
*

11. Wajib berpegang kepada metode wahyu ketika membantah, sebagaimana hal itu juga wajib dalam masalah i’tiqad dan masalah ikrar.

Oleh karena itu BID’AH TIDAK BOLEH DIBANTAH DENGAN BID’AH ! Dan sikap MEMPERMUDAH (tafrith) tidak bisa dihadapi dengan SIKAP EKSTRIM, begitu pula sebaliknya.
*

12. Setiap hal baru dalam persoalan agama adalah bid’ah, setiap bid’ah pasti dhalalah (sesat) dan setiap sesat pasti di NERAKA.