Kamis, 13 November 2008

DASAR-DASAR PIJAKAN AHLUS SUNNAH

I. DASAR-DASAR PIJAKAN AHLUS SUNNAH

*

1. Sumber aqidah adalah Kitabullah, Sunnah Rasul-Nya yang shahihah dan IJMA’ para As-Salafus-Shalih.
*

2. Setiap yang shahih dari sunnah Rasululah shallallahu ‘alaihi wasallam, hukumnya wajib diterima meskipun jalan periwayatannya AHAD.( Khabar AHAD ialah khabar yang tidak memenuhi persyaratan MUTAWATIR, yakni jumlah perawi pada masing-masing tingkat sanadnya tidak mencapai jumlah minimal mutawatir yaitu sepuluh orang perawi. (Perhatikan: Taisir Musthalahil Hadits – Dr. Mahmud At-Thahhan)

Sementara itu, KHABAR AHAD bagi Ahli Sunnah wal Jama’ah: apabila umat Islam (ahlul hadits) telah sepakat menerimanya-yakni telah meyakini keshahihannya dan bisa dijadikan pedoman beramal-maka ia harus diterima sebagai sumber ilmu yang meyakinkan, dan berati menjadi bagian tak terpisahkan dari khabar MUTAWATIR. (Artinya ia harus menjadi landasan syari’ah maupun AQIDAH. Hal ini telah disepakati oleh SALAFUL UMMAH).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga banyak mengirimkan da’i-da’i secara AHAD (sendiri-sendiri) tetapi obyek dakwahnya dapat menerima dan tidak pernah menolak dengan alasan: pemberitaannya ahad.

(Perhatikan Ibnu Abil ‘Izzi Al-Hanafi: Syarhut-Thahawiyah fil ‘Aqidah As-Salafiyah-Tahqiq: Ahmad Muhammad Syakir cet. II Terbitan: Jami’atul Imam Muhammad Ibnu Su’ud Al-Islamiyah-KSA. Hal.308) )
*

3. Tempat kembali untuk memahami Al-Kitab dan As-Sunnah adalah: nash-nash penjelasnya itu sendiri, kemudian pemahaman As-Salafus-Shalih serta para imam yang berjalan sesuai dengan manhaj mereka, kemudian pemahaman bahasa Arab yang shahih yang penggunaan kemungkinan makna kandungannya tidak bertentangan dengan ketetapan yang ada.
*

4. Semua permasalahan ushuluddin telah dijelaskan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan tidak ada seorang pun yang berhak mengada-adakan hal-hal baru dengan anggapan bahwa itu termasuk agama.
*

5. Menyerah kepada Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam secara lahir dan batin, oleh karena itu tidak akan menentang sedikitpun kepada Al-Kitab atau As-Sunnah yang shahihah baik dengan: qiyas, perasaan, penemuan maupun pendapat seorang kyai atau seorang imam dst.
*

6. Akal sehat sejalan dengan nash yang shahih, dan selamanya tidak akan bertentangan antara yang qath’i dari keduanya. Akan tetapi jika seolah-olah terjadi pertentangan, maka nash (harus) didahulukan.
*

7. Wajib ber-iltizam (berpegang) dengan istilah-istilah syar’i dalam (masalah) aqidah dan wajib menjauhkan istilah-istilah yang bid’ah.

Sedangkan istilah-istilah global yang mengandung makna salah dan benar, harus dicari kejelasan maksudnya; apabila haq, maka harus ditetapkan dengan istilah syar’i dan apabila bathil harus ditolak.
*

8. Kemakshuman hanya ada pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan ummat secara keseluruhan ketika ber-ijma’ juga ma’shum dari kesesatan. Akan tetapi orang-perorangan tidak makshum.

Apa yang diperselisihkan oleh para imam atau yang lain, tempat pengembalianya adalah Al-Kitab dan Sunnah dengan memaklumi kesalahan seorang mujtahid.

*

9. Di dalam umat ada orang-orang yang dituntun bicaranya dengan ILHAM (muhaddatsuun mulhamuun (مُحَدَّثُوْنَ/ Muhaddatsun jamak daripada muhaddats/ مُحَدَّثُ, para ulama berbeda penafsiran. Ada yang mengatakan: Orang yang diilhami. Mereka mengatakan: Al-Muhaddats ialah seseorang yang dugaannya tepat, yaitu seseorang yang dilontari sesuatu dari sisi Allah dalam spontanitas, sehingga ia seperti seorang yang berbicaranya dijalankan oleh yang lain. (Makna inilah yang ditetapkan oleh Abu Ahmad Al-‘Askari) Ada lagi yang mengatakan: (Ia adalah seorang yang bukan nabi dituntun bicaranya oleh malaikat).

Dan lain-lain penafsiran lagi, tetapi makna MUHADDATS pada pokoknya berkisar mengenai: (Seseorang yang berkata atau berlaku benar berdasarkan tuntunan ilham dari Allah padahal ia bukan nabi). Dalam Shahih Bukhari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (maknanya):

“….Kalau umatku ada yang demikian, maka ia adalah ’Umar”

(Periksa Fathul Bari Syarhul Bukhari-Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, jld. 7 Kitab Fadha’ilush-Shahabah-bab Manaqib Umar bin Khaththab, hadits no. 3689 dan penjelasannya, hal. 42 & 50, terbitan: Jami’atul Imam Muhammad Ibni Su’ud Al-Islamiyah, Riyadh-KSA-Tashhih Syaikh Ibni Baz).) Dan mimpi yang SHALIHAH benar-benar haq adanya, ia merupakan bagian dari nubuwah. Firasat yang shadiqah (yang benar) juga haq adanya, ini merupakan karamah dan mubasysyirah tetapi syaratnya harus sejalan dengan syari’at, dan ia bukan merupakan sumber bagi aqidah dan bukan pula bagi syari’ah.
*

10. Adu mulut (al-miraa’/المراء) mengenai agama merupakan perbuatan tercela, tetapi membantah (al-jidal) dengan cara yang baik: disyari’atkan, sedangkan adanya larangan shahih supaya tidak keterlaluan membicarakan agama, wajib dilaksanakan. Wajib pula menahan diri untuk tidak memperdalam pembicaraan masalah agama yang seorang muslim tidak mengetahuinya, dan menyerahkan permasalahan tersebut kepada Yang Maha Mengetahui Allah Ta’ala.
*

11. Wajib berpegang kepada metode wahyu ketika membantah, sebagaimana hal itu juga wajib dalam masalah i’tiqad dan masalah ikrar.

Oleh karena itu BID’AH TIDAK BOLEH DIBANTAH DENGAN BID’AH ! Dan sikap MEMPERMUDAH (tafrith) tidak bisa dihadapi dengan SIKAP EKSTRIM, begitu pula sebaliknya.
*

12. Setiap hal baru dalam persoalan agama adalah bid’ah, setiap bid’ah pasti dhalalah (sesat) dan setiap sesat pasti di NERAKA.

Tidak ada komentar: